Absenya Sang Mentari



            Sinar mentari perlahan mulai menjauh dari sela-sela jendela. Sepertinya ia telah menyelesaikan tugasnya menyinari pagi yang kini mulai memudar.
            Aku kira hari ini senyum akan mengembang di bibirku, layaknya mentari pagi yang selalu siap menyinari hari baru. Namun perkiraanku salah. Mentari pagi seperti enggan merasuk dalam tubuhku. Tuhan sepertinya telah bosan memiliki pelanggan setia sepertiku, hingga Ia tak mau lagi memberikan sedikit celah agar sinarnya dapat merasuk dalam tubuhku. Bahkan, hingga saat ini tak ada sedikit pun senyum mengembang yang tercipta.
            Tak hanya di situ saja. Tuhan sepertinya ingin agar aku menyerah mencari sinar yang sejak beberapa hari lalu kuinginkan. Dan aku rasa apa yang Ia inginkan terkabul.

                                                                        ***

            Sejak kakiku mulai menginjak lantai kelas, mataku sudah memulai tugasnya. Baterainya sepertinya telah terisi penuh, lengkap dengan baterai cadangannya.
            Tanpa kuperintah, mataku sontak melihat bangku yang biasa ditempati mentari indahku. Bola mataku terasa hampir keluar ketika kudapati sosoknya tak lagi ada di bangku yang aku perhatikan.
            Langkah kecil menyertaiku berjalan menuju bangku yang biasa aku tempati. Gelisah yang kutahan sejak beberapa hari lalu, kini sudah tak dapat tertahan lagi. Rasanya semua yang ada dalam tubuhku ingin meledak ketika hingga kini apa yang aku cari tak kunjung kudapati.
            Tujuh hari telah termakan oleh waktu. Seharusnya, hari ini kau sudah menempati tempat kosong di ujung sana dan duduk dengan kamera yang senantiasa bergelayut di tanganmu. Tujuh hari bukanlah waktu yang singkat untuk membuat hatiku gelisah. Tujuh hari juga bukanlah waktu yang singkat untuk membuat pikiranku terus bertanya-tanya akan keberadaannya.
            Aku menjatuhkan tubuhku keras, tepat diatas kursi coklat yang biasa kutempati. Kegelisahan yang terus kualami, membuatku malas beraktivitas. Aku merasa dunia kini berwarna hitam karena absennya sang mentari.
            “Kamu kenapa, Vin?” tanya Syta, teman sebangku sekaligus sahabatku.
            “Apa?” tanyaku setelah beberapa saat berlalu.
            “Kamu kenapa?” ulangnya.
            “Nggak papa,” jawabku. Tatapanku terus tertuju pada papan tulis putih di hadapanku. Sepertinya aku sekarang sudah gila karena asyik memandangi papan tulis putih yang sama sekali tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pemandangan hijau taman depan kelas.
            “Kamu sakit?”
            “Nggak.”
            “Apa kamu habis dimarahin?”
            “Dimarahin? Nggak.”
            “Atau kamu habis kena sial?”
            “Sial apa? Nggak kok.”
            “Terus kamu kenapa?”
            “Nggak papa.”
            Hembusan napas berat terdengar dari mulut Syta, tepat setelah aku menjawab pertanyaan terakhirnya. Sepertinya ia akan marah karena ulah yang telah kubuat. Aku jadi merasa tidak enak padanya. Ia berusaha membantu, tapi aku malah bersikap dingin padanya. Aku harus bersiap menerima resiko hujan dadakan yang sepertinya akan mengguyur deras sebentar lagi.
            “Vinna, kamu kenapa? Apa kamu lagi ada masalah? Kenapa kamu gak mau cerita?” tanya Syta. Nada suaranya terdengar sangat halus dan ramah. Sama sekali tak terdengar seperti orang yang sedang marah.
            Otakku segera berputar cepat. Aku tak mengerti keadaan ini. Seingatku, Syta pernah bercerita kalau ia tidak suka pada orang yang bersikap dingin dan cuek saat ia ajak bicara. Dan setahuku, ia selalu marah bila ada orang yang melakukan itu padanya. Tapi kenapa dia kali ini tidak marah? Apa otaknya telah tertular virus yang kubawa?
            Aku memalingkan wajahku padanya. “Kenapa kamu nggak marah?” tanyaku bingung.
            “Kenapa aku harus marah?”
            “Kan aku tadi jawabnya cuek.”
            “Nggak papa lagi. Aku tau kok kalo kamu lagi ada masalah. Makanya aku nggak marah,” balasnya. Senyum cantik seketika mekar di bibirnya, seiring dengan berakhirnya perkataannya.
            “Beneran nggak marah?”
            “Ya… tadi sih sempet hampir marah,” katanya jujur lengkap dengan tawa ringan yang mengikuti.  “Habis, aku bete sih gara-gara kamu balesnya cuek. Tapi aku inget kalo kamu lagi ada masalah. Jadi ya, aku tahan.”
            Aku mengerutkan kening. “Dari mana kamu tahu kalo aku lagi ada masalah?”
            Ia diam. Alisnya bergerak ke atas, lengkap dengan kedua bola matannya. Sepertinya ia sedang berpikir. “Emm.. Tau dari situ,” jawabnya setelah terdiam beberapa saat. Telunjuk kanannya bergerak menunjuk sebuah bangku yang bertengger di pojok kanan kelas.
            Mataku memincing sembari mengikuti arah yang ia tunjuk. Mulutku seketika membulat ketika tahu siapa pemilik bangku yang baru saja Syta tunjuk.
            “Benerkan?” tanyanya. Telunjuk kanannya kini mengarah padaku. Ekspresi wajahnya seperti menunjukan isyarat bahwa ia-lah pemenangnya.
“Udah deh.. Nggak usah bohong. Aku tuh udah kenal kamu dari SMP, jadi pasti aku tau semua tentang kamu. Termasuk apa yang ada di pikiranmu dan apa yang kamu rasain saat ini,” lanjutnya. Bibir tipis di wajahnya tertarik seiring dengan berubahnya raut wajahku. Matanya menatapku dengan tatapan penuh arti. Sial. Aku sudah tidak bisa mencari alasan yang tepat untuk membalas perkataannya. Sepertinya ia benar-benar memahamiku luar dan dalam.
“Huuhh…” aku menghembuskan napas dalam-dalam.
Lagi-lagi Syta tersenyum menunjukkan ekspresi penuh kemenangan ketika tak ada satu pun kata keluar dari mulutku.
“Udahlah, Vin.. Jangan terlalu dipikir. Kamu tunggu aja. Mungkin dia sakit atau lagi pergi ke luar kota,” kata Syta mencoba menenangkan.
“Kalo dia sakit harusnya ada suratnya. Paling nggak ada laporan kalau dia sakit. Tapi waktu aku tanya ke sekertaris, katanya dia sama sekali gak nerima laporan atau surat dari Alan – cahaya mentariku. Dan kalo pun dia pergi ke luar kota atau ke mana, harusnya nggak selama ini,” balasku sedikit keras. Aku sudah tak kuat lagi menahan semua gelisah ini. Aku sangat ingin tau di mana, sedang apa, dan bagaimana keadaannya saat ini. Namun hingga detik ini, tak ada satu pun yang bisa menjawab kegelisahanku. Bahkan Tuhan pun seperti tak ingin menjawabnya.
“Kalo gitu kamu tunggu aja. Mungkin dia telat datengnya,” kata Syta setelah kami berdua terdiam cukup lama.

                                                            ***

Bel baru saja berdenting tiga kali, pertanda sekolah telah berakhir. Harusnya aku senang karena penderitaan akibat menerima ocehan dan pelajaran dari para guru telah berakhir. Tapi kenyataan sepertinya masih tak mengizinkanku bersenang-senang.
Aku menolehkan badan untuk kesekian kalinya hingga mataku dapat melihat lagi bangku kosong yang terus bertengger di pojok kanan kelas. Bangku itu sama seperti sebelumnya, tetap kosog tak berpenghuni.
Aku berharap hari berganti Natal dan aku tidur menantikan datangnya Natal. Lalu, saat aku terlelap dalam mimpi indahku, Santa datang membawa sinar mentariku sebagai hadiah. Dan saat aku membuka mata, aku melihat sinar itu hadir di depanku. Namun aku rasa semua itu sia-sia. Ia tidak mungkin kemari dan memberiku sinar. Ia lebih menyukai salju putih ketimbang sinar cerah.
“Udah pulang nih, Vin. Dia belum dateng juga ya?” tanya Syta menyadarkanku.
Aku menggelengkan kepala.
“Kira-kira dia kenapa ya kok nggak dateng?”
Aku tetap membisu. Hanya bahu yang sedikit terangkat yang memberikan jawaban atas pertanyaan Syta tadi.
            Hembusan napas lagi-lagi keluar dari mulut manisku. Galau terus menyelimuti hati dan jiwaku. Pertanyaan yang datang sejak beberapa hari lalu tetap terngiang di benakku. Hingga kini, aku masih belum mendapat jawaban atas semua gelisah dan pertanyaanku.
            Perlahan aku meletakkan tanganku ke atas meja dan menopangkan kepalaku di sana. Aku memandang papan tulis putih di hadapanku. Entah ini kenyataan, atau hanya firasatku saja aku tak tahu. Namun sepertinya papan tulis itu kini seakan berubah menjadi papan hitam yang sama sekali tak dapat tersentuh oleh kapur. Bahkan hamparan hijau taman depan kelas, kini telah berubah menjadi hamparan kuning karena tak ada seberkas cahaya yang mampu membuatnya berfotosintesis. Sama halnya denganku. Awan seakan menyelimuti sinarku.   
            Aku terus menunggu, mencari, dan berharap agar awan itu lekas terganti sinar terang yang takkan pernah padam. Namun, hingga jarum jam telah berhenti tepat di angka tiga, kamu – sinarku – tak kunjung datang.
            Aku ingin terus menunggu, mencari, dan berharap agar awan itu cepat terganti. Namun telah banyak hari yang kulalui bersama sang awan. Aku rasa, kini sudah saatnya aku mencoba bersahabat dengan sang awan. Lelah juga sepertinya telah menjalar di sekujur tubuhku. Baterai yang sejak tadi terisi penuh, kini seakan lenyap, lengkap dengan baterai cadangannya, seiring dengan absennya sinarku.


With love,
 

Goodbye My Love



Jujur saja. Walau aku seorang pemuda, aku bukanlah penggemar kopi hangat sepertimu. Bagiku, kopi tak mampu menghangatkanku, seperti yang selalu kau ucapkan padaku kala aku bertanya alasanmu menyukai bubuk berwarna hitam itu. Dibandingkan dengan kopi, aku jauh lebih suka dengan pelukan hangatmu.

"Apa tidak ada kesempatan kedua untukku?" tanyaku di sela keramaian Sudhobucks Coffee Cafe. Jujur aku sangat mengharapkan kesempatan itu. Ketahuilah, aku rapuh tanpamu.

Aku melihatmu menundukkan kepala, kemudian menggeleng. "Jepang dan Indonesia takkan mampu bersatu sebagai sebuah keluarga yang satu. Keduanya adalah negara yang berbeda. Masing-masing memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh selainnya. Begitu pun dengan kita. Perasaanku kini telah berubah. Aku tidak lagi mencintaimu."

Seketika aku membisu. Tak tahu harus mengatakan apa. Jepang rupanya tidak hanya mengubah cara pandangmu, namun juga perasaanmu terhadapku. 

Beberapa saat kemudian aku merasakan tanganmu terulur menyentuh tanganku. Ada hangat yang menjalari tubuhku ketika kau menggenggam tanganku. Namun aku sadar, kehangatan itu hanya sementara. Kehangatan itu kini sudah tak lagi menjadi milikku.

"Carilah mentari baru yang mampu menghangatkanmu, Kevin," ucapnya ketika tangannya masih menggenggam erat tanganku.

"Siapa? Mentari itu hanya ada satu, dan dia adalah kau" balasku. Aku hampir tak dapat berkata apa pun hingga ucapan yang baru saja keluar dari mulutku lebih pantas terdengar seperti pekikan burung tersedak, ketimbang seorang pemuda yang sedang berusaha menjelaskan perasaannya.

Hubungan kita telah berjalan lama. Melupakanmu tidak secepat mengedipkan mata. Ketahuilah, itu adalah hal tersulit yang harus kulakukan.

Aku melihatmu memalingkan wajah, menerawang menembus kaca kedai kopi, tempatku berjumpa kembali denganmu.

"Entahlah. Mungkin gadis periang itu. Aku yakin dia mampu menerangimu lebih dari yang dulu pernah aku lakukan terhadapmu," katamu.

 Mataku mengikuti arah pandangmu. Kulihat sosok gadis dengan ukuran tubuh yang tidak begitu tinggi sedang mengobrol dengan kekasihmu.

Aku kembali menghadapkan wajah ke arahmu. "Maksudmu Ghea?"

Kau menggerakkan kepala, mengangguk. 

Ah, dia lagi. Aku sudah bertekad untuk tak berurusan dengannya lagi, namun mengapa orang yang masih aku cintai justru membukakan jalan untukku agar aku bisa lebih dekat dengannya?

            “Tapi aku...”

"Cobalah membuka hati untuknya," katamu memotong kalimatku, disusul dengan lepasnya genggaman tanganmu. 


With love,
 




Dalam Damai Di Senyummu


                Aku menatapmu dengan banyak rasa yang melebur menjadi satu di dalamnya. Terlukis indah senyummu di atasnya. Begitu indah, begitu mempesona.
Hm, aku selalu rindu dengan caramu yang menatapku dengan sejuta senyum indah yang mengembang di bibir tipismu. Setiap aku melihatnya seakan ada sebongkah rahasia yang tersimpan rapi di dalamnya. Dan entah mengapa ada rasa damai setiap aku melihatnya.
“Ehm, apa kamu baik-baik saja?” tanya pemuda di hadapanku dengan tangannya yang melambai pelan di depan wajahku.
“Eh,” kataku tersipu malu. Ah, lagi-lagi ia memergoki diriku yang sedang menatapnya.
“Bagaimana keadaan tulang punggungmu? Apakah baik-baik saja? Aku begitu khawatir waktu kamu berkata bahwa kamu menderita skoliosis,” ucapnya panjang.
“Eh, sudah tidak apa-apa. Terimakasih ya atas perhatianmu,” aku kembali tersenyum karena perhatiannya yang meluluhkan semua presepsiku bahwa orang yang abnormal tak berhak berada bersama orang normal.
Tepat setelah aku menutup mulut, untaian senyum itu kembali terlukis di wajahmu. Rasa damai itu seketika kembali merasuk dalam tubuhku. Kau tak pernah mengejekku atas ketidak normalan akan diriku.
Ah, bagaimana caraku berterimakasih atas segala senyummu yang selalu membuatku membeku?  
                

With love,
 

Cinta dalam Diam


Aku menatap lekat pemuda yang sejak tadi berada di hadapanku. Parasnya yang rupawan dengan rambut yang tertata rapi sesuai dengan apa yang aku sarankan ketika dia meminta pendapatku tentang gaya potongan rambut barunya membuat mataku seakan merekat dengannya, sedikit pun ia tak mau melepas pandangan dari sosoknya.
               
 Untuk kesekian kalinya kita berada dalam satu dimensi yang sama. Dimensi yang hanya ada aku dan kamu di dalamnya. Dalam sunyi, dimensi itulah yang hingga saat ini membawa kita menyusuri setiap bunga yang bermekaran di padang cinta kita.

Ya, kita sepasang makhluk Tuhan yang saling memadu kasih di balik suara rintih hujan dengan segala sunyi yang tercipta. Aku tahu kedengarannya memang aneh. Namun, di sanalah tempat kita meluapakan segala sesak indah di dada.
               
Dalam diam itulah cara kita saling mengucap cinta. Karena kasih tak harus dilukiskan melalui indahnya kata dan perbuatan. Kita percaya, kasih yang nyata adalah kasih yang dapat disentuh, sekali pun kita berada dalam diam.  


With love,