Goodbye My Love



Jujur saja. Walau aku seorang pemuda, aku bukanlah penggemar kopi hangat sepertimu. Bagiku, kopi tak mampu menghangatkanku, seperti yang selalu kau ucapkan padaku kala aku bertanya alasanmu menyukai bubuk berwarna hitam itu. Dibandingkan dengan kopi, aku jauh lebih suka dengan pelukan hangatmu.

"Apa tidak ada kesempatan kedua untukku?" tanyaku di sela keramaian Sudhobucks Coffee Cafe. Jujur aku sangat mengharapkan kesempatan itu. Ketahuilah, aku rapuh tanpamu.

Aku melihatmu menundukkan kepala, kemudian menggeleng. "Jepang dan Indonesia takkan mampu bersatu sebagai sebuah keluarga yang satu. Keduanya adalah negara yang berbeda. Masing-masing memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh selainnya. Begitu pun dengan kita. Perasaanku kini telah berubah. Aku tidak lagi mencintaimu."

Seketika aku membisu. Tak tahu harus mengatakan apa. Jepang rupanya tidak hanya mengubah cara pandangmu, namun juga perasaanmu terhadapku. 

Beberapa saat kemudian aku merasakan tanganmu terulur menyentuh tanganku. Ada hangat yang menjalari tubuhku ketika kau menggenggam tanganku. Namun aku sadar, kehangatan itu hanya sementara. Kehangatan itu kini sudah tak lagi menjadi milikku.

"Carilah mentari baru yang mampu menghangatkanmu, Kevin," ucapnya ketika tangannya masih menggenggam erat tanganku.

"Siapa? Mentari itu hanya ada satu, dan dia adalah kau" balasku. Aku hampir tak dapat berkata apa pun hingga ucapan yang baru saja keluar dari mulutku lebih pantas terdengar seperti pekikan burung tersedak, ketimbang seorang pemuda yang sedang berusaha menjelaskan perasaannya.

Hubungan kita telah berjalan lama. Melupakanmu tidak secepat mengedipkan mata. Ketahuilah, itu adalah hal tersulit yang harus kulakukan.

Aku melihatmu memalingkan wajah, menerawang menembus kaca kedai kopi, tempatku berjumpa kembali denganmu.

"Entahlah. Mungkin gadis periang itu. Aku yakin dia mampu menerangimu lebih dari yang dulu pernah aku lakukan terhadapmu," katamu.

 Mataku mengikuti arah pandangmu. Kulihat sosok gadis dengan ukuran tubuh yang tidak begitu tinggi sedang mengobrol dengan kekasihmu.

Aku kembali menghadapkan wajah ke arahmu. "Maksudmu Ghea?"

Kau menggerakkan kepala, mengangguk. 

Ah, dia lagi. Aku sudah bertekad untuk tak berurusan dengannya lagi, namun mengapa orang yang masih aku cintai justru membukakan jalan untukku agar aku bisa lebih dekat dengannya?

            “Tapi aku...”

"Cobalah membuka hati untuknya," katamu memotong kalimatku, disusul dengan lepasnya genggaman tanganmu. 


With love,
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar