Aku
menatapmu dengan banyak rasa yang melebur menjadi satu di dalamnya. Terlukis
indah senyummu di atasnya. Begitu indah, begitu mempesona.
Hm, aku selalu rindu dengan caramu
yang menatapku dengan sejuta senyum indah yang mengembang di bibir tipismu. Setiap
aku melihatnya seakan ada sebongkah rahasia yang tersimpan rapi di dalamnya.
Dan entah mengapa ada rasa damai setiap aku melihatnya.
“Ehm, apa kamu baik-baik saja?”
tanya pemuda di hadapanku dengan tangannya yang melambai pelan di depan
wajahku.
“Eh,” kataku tersipu malu. Ah,
lagi-lagi ia memergoki diriku yang sedang menatapnya.
“Bagaimana keadaan tulang
punggungmu? Apakah baik-baik saja? Aku begitu khawatir waktu kamu berkata bahwa
kamu menderita skoliosis,” ucapnya panjang.
“Eh, sudah tidak apa-apa.
Terimakasih ya atas perhatianmu,” aku kembali tersenyum karena perhatiannya
yang meluluhkan semua presepsiku bahwa orang yang abnormal tak berhak berada
bersama orang normal.
Tepat setelah aku menutup mulut,
untaian senyum itu kembali terlukis di wajahmu. Rasa damai itu seketika kembali
merasuk dalam tubuhku. Kau tak pernah mengejekku atas ketidak normalan akan
diriku.
Ah, bagaimana caraku berterimakasih
atas segala senyummu yang selalu membuatku membeku?
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus