Aku
melangkahkan kaki dengan cepat menuju teras depan rumah ketika rangsang dari
telingaku mendengar suara kayuhan sepeda yang cukup kencang.
“Nata, jangan main sepedanya jangan terlalu kencang. Nanti kalau jatuh gimana?” teriakku lantang.
“Nata, jangan main sepedanya jangan terlalu kencang. Nanti kalau jatuh gimana?” teriakku lantang.
Dasar
anak kecil. Tanpa tahu resiko apa yang akan menimpa, mereka selalu saja berulah
untuk membuat mereka bahagia. Sebuah kebahagiaan yang hanya mampu mereka dan
teman-teman mereka rasakan. Selanjutnya, keramaian yang tercipta akibat ulah
mereka tentu tak pernah absen.
Seperti
sore ini. Ketika aku yang memiliki banyak tugas untuk kulaih seni fotografiku
justru mendapat giliran untuk menjaga seorang anak manusia berumur 4 tahunan.
Si kecil cabe rawit yang penuh akan keingintahuan.
“Kakak,
aku lapar,” kata Nata yang entah kapan telah berpindah ke sisiku.
“Beli
jajan sana.”
“Nggak
mau. Nata ingin makan batagor, kak.”
Aku
menatap garang pada anak lelaki di sampingku. Memasakkan untuknya?
“Kakak
nggak mau,” ucapku sedikit keras.
“Ya
sudah. Kalau kakak nggak mau, Nata akan bilang pada ibu kalau kakak jahat.”
Huh.
Dasar anak-anak, bisanya hanya mengadu saja. Kalau sudah begitu aku yang akan
repot karena tidak akan mendapat uang jajan selama 1 bulan dari ibu.
“Iya
iya. Akan kakak buatkan.” Ya, tentu saja aku akan membuatkan batagor untuknya.
Itu lebih baik ketimbang aku harus mendapat omelan dari ibu dengan bonus tidak
adanya uang saku.
“Hore!
Buatkan untuk teman-teman Nata juga ya, kak,” pinta Nata.
“Apa?”
aku menatapnya tak percaya. Teman-teman Nata berjumlah 5 orang, kalau Nata juga
memintaku untuk membuatkan mereka batagor itu artinya aku harus membuat batagor
sebanyak 6 porsi. Yang benar saja?
“Tidak
mau.”
Aku
melirik Nata ketika respon cepat seorang anak kecil tak kunjung menjemput.
Terlihat jelas pipi Nata menggelembung, tanda bahwa ia sedang mengambek.
“Baiklah,
akan kakak buatkan.”
“Hore! Nanti
Nata dan teman-teman Nata pasti akan membantu kakak.”
Hm,
membantu ya? Bagiku kata ‘membantu yang diucapkan seorang anak lebih dari sekedar
‘merusak’ segalanya. Dan kini aku mendengar adik kecilku mengatakannya. Oh
Tuhan. Semoga tidak akan terjadi hal buruk nantinya, do’aku dalam hati.
Aku
bersama Nata serta beberapa pasukan kecilnya melangkah menuju dapur. Sekilas,
ketika mataku tak sengaja menatap wajah mereka, terlihat ada sebongkah
kebahagiaan yang terpancar dari sana. Ada semangat yang tak terdefinisi di
setiap langkah kecil yang mereka ciptakan.
Setelah
mengambil beberapa bahan dan peralatan memasak yang akan dibutuhkan, tanganku
dengan cekatan mulai mengaduk adonan.
“Itu
apa kak?” tanya salah satu teman Nata.
“Ini
adonan untuk batagornya.”
“Lalu
yang itu untuk apa kak?” tanya teman Nata yang lain dengan telunjuk yang
merngarah pada sendok yang aku pegang.
“Ini
untuk mencetak adonannya.”
Ah,
keingintahuan mereka begitu besar. Membuatku lelah karena harus menjawab
seluruh pertanyaan mereka. Kalau saat seperti ini, walau pun mereka terlihat
menyebalkan, namun wajah mereka yang penuh dengan rasa ingin tahu terlihat
begitu lucu. Membuatku ingin mencubit salah satu pipi tembam yang mereka
miliki. Namun....
“Aaah,
hati-hati. Jangan berkeliaran di dapur. Kalau ada salah satu barang yang jatuh
bagaimana?” teriakku ketika melihat mereka mulai melakukan hal lain.
“Batagornya
jangan dimakan dulu. Kalau terus-terusan di makan, batagornya akan habis,”
teriakku lagi ketika tangan kecil mereka satu per satu mengambil batagor yang
telah matang.
Ah,
sekali pun mereka lucu, tetap saja kebiasaan mengacau itu tak dapat hilang dari
sisi mereka.
“Ini
batagornya,” kataku menyuguhkan 6 mangkok berukuran sedang dengan gambar-gambar
lucu sebagai penghias di setiap sisinya. Pada akhirnya aku berhasil
menghabiskan seluruh adonan minus tangan-tangan kecil yang ikut campur di
dalamnya.
“Hore!
Makasih kakak,” kata mereka kompak.
Aku
tersenyum membalas ucapan mereka. Dari tempatku duduk, diam-diam aku
memperhatikan setiap gerak yang mereka ciptakan. Terkadang mereka memang
menyebalkan, namun di saat-saat seperti ini mereka justru terlihat begitu lucu
dengan kepolosan yang mereka miliki. Sebuah kejujuran yang hanya mampu
kudapatkan dari mereka, sang malaikat penyejuk hati.
With love,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar