Aku menyeruput teh hijau dari segelas mug yang baru saja aku
buat, berharap bisa mendapatkan kehangatan dari sana. Pikiranku masih melayang
pada keputusan yang telah kita buat semalam. Benarkah jalan itu yang akan kita
tempuh? Yakinkah kau bahwa kita mampu melewatinya?
“Aku akan menunggumu. Sampai kapan pun aku akan tetap
menunggumu,” katamu.
“Benarkah?”
Aku melihatmu menganggukkan kepalamu. Sekilas kau tampak
yakin dengan pilihan yang baru saja kau buat, namun sepertinya bahumu yang
terangkat sedikit itu mengatakan sebaliknya. Aku rasa kau masih ragu dengan
keputusanmu untuk menungguku.
Menunggu bukanlah hal yang mudah. Apalagi dengan waktu yang
abstrak seperti itu.
Aku jadi teringat ketika kau harus mengantre tiket untuk
sebuah film action favoritmu. Kala itu kau hanya perlu mengantre kurang dari 20
menit, dan penyebab dari semua itu adalah dirimu sendiri yang terlambat bangun
untuk pergi ke gedung bioskop.
“Kau bukan tipe penunggu,” gumamkku disusul dengan masuknya teh
hijau lagi ke dalam kerongkonganku.
Aku menghembuskan napas keras-keras sembari meletakkan mug
yang baru saja aku pegang ke meja pantry di apartmentku. Tanganku yang sudah
tidak memegang apa-apa, kini meraih handphone
yang kuletakkan tepat di samping mug. Ibu jempol tangan kananku dengan gampang
menekan tombol speed dial nomor 3
tanpa disertai mataku yang ikut memastikan letak angka 3 di keypad handphoneku. Ia sudah terlalu hapal dengan nomor handphone yang aku hubungi.
“Hana, tumben kamu telpon. Ada apa?” sahut suara berat di
seberang sana setelah 3 kali terdengar nada tunggu. Ah, suara itu. Suara yang
akan selalu kurindukan.
“Em, aku hanya ingin membahas tentang keputusan yang kita
buat semalam,” jawabku sedikit ragu. Ya, aku pun sama sepertinya. Masih belum
yakin dengan keputusan yang akan kubuat.
“Apa ada yang salah dengan keputusan itu, Hana?”
“Em, nggak sih. Tapi aku merasa sebaiknya kita berteman
saja, tanpa ada kata menunggu di dalamnya,” seperti ada yang mengganjal,
suaraku terdengar serak ketika aku mengatakannya.
“Kenapa?”
“Aku hanya belum yakin dengan keputusan yang kita buat
semalam,” Walau aku pun sebenarnya belum yakin
dengan keputusanku saat ini, kataku dalam hati.
“Mungkin kita harus memikirkan lebih dalam lagi sebelum kita
memutuskan untuk menunggu,” lanjutku. “Maaf untuk semuanya. Sampai jumpa,”
kataku diisusul dengan ibu jari yang menekan tombol merah di handphone.
“Aku tahu kau pemuda yang baik, namun aku tak yakin
kau mampu menungguku, begitu pun denganku. Maafkan aku, Reno,” bisikku dalam
hati.
Tanganku kemudian beralih mengambil mug yang berisi teh hijau
dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Teh itu kini sudah dingin, sedingin
keputusan yang baru saja aku buat.
With love,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar