Aku
ingin buang hajat. Aku ingin segera membuangnya. Aku sudah tidak kuat lagi
menahan hajat itu. Tapi aku tak tau bagaimana dan di mana aku harus
membuangnya. Hajat itu bukanlah sebuah kotoran yang terbentuk dalam tubuhku.
Hajat yang aku maksud adalah perasaanku.
Sudah
lama aku mengenalmu. Sudah lama aku mencintaimu. Dan sudah lama aku menjadi
pengagum rahasiamu.
Sejak
pertama bertemu, mataku tertarik untuk melihatmu. Saat itu, badanku seakan
dipenuhi besi yang tertarik oleh magnet-magnet yang kau miliki. Bola hitam di
matamu yang kecil membuatku tak dapat berkedip. Hidung mancung yang kau miliki,
membuatku tak lagi dapat bernapas. Bibirmu yang merah, membuatku tak kuasa
untuk terus membuka mulut – terpesona akan parasmu. Sayang, aku tak dapat
menghentikanmu saat kau berjalan tepat dihadapanku. Jalanmu yang terlalu cepat
dan tidak adanya keberanian dalam diriku, membuatku tak dapat mengenalmu lebih
dalam.
Sejak
saat itu, aku berharap kau ada di tempat yang sama denganku, ke mana pun aku
pergi. Sayangnya harapan itu hanya sebuah harapan. Nyatanya, akulah yang
mengikutimu, ke mana pun kau pergi. Aku tak mempermasalahkan itu. Selama aku dapat
melihatmu, hujan seakan terganti oleh sang mentari. Walau pun aku hanya dapat
melihatmu dari jauh, mentari itu akan tetap terlihat. Karena mentari itu telah
menyilaukan mata, hati dan pikiranku.
Sejak
saat itu pula, banyak hal yang patut disayangkan. Mulai dari ketidak
beranianku, kebisuanku, dan masih banyak lagi. Bahkan hingga saat ini – saat
perasaan itu semakin parah, saat tak ada satu pun rumah sakit yang mampu
mengobati rasa cintaku, saat tak ada satu pun closet yang mau menampung
perasaanku – aku masih tetap menjadi pengagum rahasiamu.
21:55 – 22:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar