Seperti Menatap Cermin


                Aku terus menatap hujan yang turun tepat setelah aku menutup pintu tua berwarna coklat. Tak ada yang istimewa hari ini selain seruan ibu yang meminta tolong padaku untuk membeli makanan di warung terdekat. Aku bersyukur atas permintaan ibu. Dengan begitu aku mampu berjalan di bawah hujan, hal yang biasanya menjadi poin teratas dalam daftar panjang larangan ibu.
                Aku mengangkat kaki, mencoba memulai langkah dan menantang hujan yang kini turun dengan derasnya. Perasaan bahagia yang sempat kurasakan, kini meluap seiring datangnya angin kencang yang mengganggu kencanku dengan hujan. Hembusan angin itu membuatku harus mempererat pegangan pada tangkai payung yang sedang kugenggam. Aku terus melangkah melawan angin yang seakan tak mengijinkanku melewatinya. Andai ibu dan adik tidak sedang sakit, mungkin saat ini aku tidak harus berhadapan dengan angin.
                Aku memandang warung dihadapanku dengan pandangan kosong. Rasa kecewa seketika menyelubungi hatiku kala pupil ini menangkap warung yang tertutup oleh terpal. Sangat sulit untuk melawan angin, namun pada akhirnya hanya nihil yang kudapat. Benar-benar menyedihkan.
                Aku kembali berjalan sembari berharap bertemu dengan warung terdekat yang menjual makanan sekaligus tidak tertutup terpal. Angin berhembus semakin kencang, membuat langkah malasku kian terasa berat. Kalau ibu mengijinkanku pulang tanpa membawa permintaannya, mungkin saat ini aku sedang berjalan kembali ke rumah.
                Mataku menyusuri lingkungan di sekelilingku sembari mencari bayangan warung yang masih bernyawa. Pohon yang basah akibat hujan, serta tetesan air yang masih tersisa di atas mahkota bunga serta dedaunan membuat gelap sore ini sedikit lebih cerah. Setidaknya ada alasan untukku tersenyum di sela cuaca mencekam ini.
                Aku menarik napas dalam-dalam. Parfum yang tercipta dari tanah yang basah akibat guyuran hujan masuk melalui rongga hidungku. Sudah lama aku tak mencium bau khas ini di kota pahlawan.
                Aku menyipitkan mata ketika pupilku menangkap seberkas cahaya kuning yang terpancar dari sebuah rumah kecil di ujung jalan. Sedetik kemudian aku mempercepat langkah dan mendekati tempat munculnya cahaya.
                Aku bersyukur karena cahaya itu tak hilang ketika aku telah berada di hadapannya. Tak berhenti sampai di situ saja. Rupanya cahaya itu muncul dari sebuah rumah yang menjual berbagai macam makanan. Melihatnya saja sudah membuat perutku memainkan drum kesayangannya. Sepertinya ada harap yang uhan berikan padaku agar aku dapat memenuhi perintah ibu.
                Bau khas tanah yang tadi sempat memenuhi rongga hidungku seketika sirna, terganti oleh bau jagung yang tengah dibakar. Aku bergerak mendekati arah datangnya asap yang timbul akibat jagung yang sedang dibakar. Perut yang baru saja memainkan alat musik kesayangannya, kini kembali memainkannya.
                “Itu harganya berapa, pak?” tanyaku pada seorang lelaki paruh baya yang tengah membolak-balik jagung hasil bakarannya.
                “Maksud adik jagung ini?” aku mengagguk. :Satu buah harganya 3.000.”
                Aku membulatkan bibir, sedang pikiranku melayang pada percakapanku dengan ibu beberapa menit sebelum aku melangkahkan kaki keluar rumah.
                “Kamu ingat baik-baik ya, Ra. Ibu member uang 1.000 sebanyak 2 lembar dan uang 500 sebanyak 2 buah. 1 lembar uang 1.000 dan 1 buah uang 500 kamu gunakan untuk membeli nasi. Sedangkan yang lain kamu gunakan untuk membeli tempe goreng sebagai lauknya. Apa kamu mengerti dengan apa yang baru saja ibu jelaskan?” tanya ibu. Kedua tangannya memperagakan setiap percakapan yang dihasilkan oleh mulutnya.
                Aku mengangguk. “Rara mengerti, bu. Uang 1.500 yang pertama untuk membeli nasi, sedangkan uang 1.500 yang lain untuk membeli tempe goreng,” kataku mengulang penjelasan ibu.
                “Pintar sekali,” balas ibu dengan senyum merekah di bibirnya.
                “Nah, uang itu ibu masukkan ke dalam dompet ini ya. Hati-hati, jangan sampai hilang,” lanjutnya dengan tangan yang mengangkat dompet biru milikku. Dompet itu aku dapat tepat setelah ibu baru saja pulang dari pernikahan salah satu temannya.
                Kala itu ibu berpesan padaku, “Walau umurmu masih belia, kau sudah harus belajar memilah uang. Sebagian uang yang kau miliki bisa kau gunakan untuk keperluanmu, sedangkan sisanya kau gunakan untuk orang lain yang lebih membutuhkan. Tentu saja tanpa mengharrap imbalan dari orang tersebut, karena hanya Tuhan yang berhak member imbalan atas setiap perbuatan umatnya.”
                Suara music tanda kelaparan kembali berkumandang melalui perut kecilku, membuatku tersadar dari lamunan. Aku menggerakkan kaki, berjalan menjauhi tempat dibakaranya jagung, sekaligus mendekati tempat dijualnya berbagai macam nasi serta lauk-pauknya.
                Lagi-lagi perutku kembali mengeluarkan bunyi khas kelaparannya. Aku yang tak biasa tidak sarapan, tadi pagi harus merelakan jatah makanku pada gadis kecil berumur 9 tahun yang tengah menggigil di rumah, adikku.
                “Mau pesan apa, dik?” tanya seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba telah berdiri di hadapanku dan memecah lamunanku.
                “Boleh tidak kalau Rara beli nasi 1.500?” tanyaku sedikit takut. Sebelumnya aku tak pernah membeli makanan di sini dan aku tak tahu harus melakukan apa kalau sampai ibu yang kini tengah berdiri di hadapanku menjawab tidak.
                Kulihat seutas senyum menghampiri wajah wanita paruh baya di hadapanku. “Tentu saja boleh. Adik mau beli lauknya juga?”
                Aku mengangguk. “Boleh tidak kalau tempe gorengnya juga 1.500?”
                Sang ibu kembali tersenyum. “Boleh. Adik tunggu sebentar ya. Akan ibu ambilkan pesanannya.”
                Aku mengangguk. Sedetik kemudian aku telah mengedarkan pandanganku pada keadaan sekitar ketika tanpa sengaja mataku menangkap sosok gadis kecil yang aku rasa berumur lebih muda 3 tahun dariku. Mungkin ia sepantaran dengan adik kandungku di rumah. Terlihat sang gadis kecil itu sedang memeluk erat tubuhnya di depan etalase toko. Sepertinya ia sedang menahan hawa dingin yang menjalar di tubuhnya. Terlihat jelas dari pakaiannya yang basah.
                Aku terus menatapnya seperti aku sedang menatap cermin. Ada sesuatu dalam diri gadis kecil itu yang membuatku seperti melihat bayangan diriku dalam umur yang lebih muda. Berada di sela hujan dengan angin sebagai penghangat tubuh, serta berbagai rupa orang yang berlalu-lalang di depan sana namun tak ada satu pun yang melirikmu. Aku pun baru mengalami hal serupa. Keadaanku memang tak separah dirimu, karena masih ada jaket serta payung yang menyertaiku. Namun, jauh dalam hati ini aku mampu merasakan perasaan yang aku yakin juga kau rasakan saat ini.
                “Adik…” panggil seseorang dengan menepuk lebut pundakku.
                Seketika aku menoleh dan melihat wanita paruh baya yang beberapa menit lalu menanyakan pesananku, kini telah berdiri di sampingku dengan kantong plastic yang tergenggam di tangan kanannya.
                “Ini makanan yang tadi adik pesan. Jumlah harganya 3.000 rupiah,” ucapnya. Tangan kanannya menyerahkan kantong plastic kecil yang aku yakin di dalamnya berisi makanan yang telah kupesan beberapa menit lalu.
                 “Ini uangnya. Terimakasih, bu,” ucapku kemudian berlalu.
Mataku masih terus mengikuti gadis kecil yang masih berdiri di depan etalase toko. Aku kemudian memelankan langkah kaki kecilku kala akan melewati gadis kecil yang terus menarik perhatianku. Ada secuil ragu untuk mendekatinya, namun hatiku berkata bahwa aku harus mendekatinya.
                “Halo,” sapaku setelah aku berada di sampingnya. Pada akhirnya, aku memantapkan hati untuk mendekatinya.
                Gadis kecil itu menoleh dan menatapku, kemudian beralih melihat payung yang sebagian sisinya kuletakkan di atas kepalanya.
                “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanyaku setelah kami cukup lama terdiam.
                “Tidak tahu,” jawabnya singkat.
                Aku melayangkan pandanganku pada gadis kecil di sampingku kala kulihat matanya menatap kantong plastik yang sedari tadi kubawa. “Apa itu?”
                “Ini?” tanyaku sambil mengangkat kantong plastik di tangan kananku.
                Sang gadis kecil mengangguk.
                “Apa kamu lapar?”
                Sang gadis kecil kembali menganggukkan kepalanya.
                Aku segera mengambil salah satu tempe goreng yang baru saja kubeli dan memberikannya pada sang gadis kecil. “Ini untukmu.”
                Sang gadis kecil terdiam sambil menatapku lekat-lekat.
                “Aku tahu itu tidak akan menghilangkan laparmu, tapi setidaknya itu akan sedikit mengurangi laparmu,” ucapku dengan senyum. Aku kembali menyodorkan tempe goreng yang sejak tadi belum ia ambil.
                “Terimakasih,” kata sang gadis kecil sembari mengambil tempe goreng dari tanganku.
                Aku mendongak mengatap langit sembari menunggu gadis kecil di sampingku menghabiskan tempe gorengnya. Perlahan angin mulai melunak, menyisakan hujan yang masih asyik dengan aktivitasnya. Lalu, aku mengarahkan pandanganku pada gadis kecil disampingku.
                “Apa kamu tidak ingin pulang?”
                Sang gadis kecil yang masih memakan tempe goreng pemberianku segera menghentikan aktivitasnya. “Aku tidak bisa pulang.”
                “Kenapa?”
                “Masih hujan dan aku tidak membawa payung.”
                Aku membulatkan mulut. “Jadi karena itu sejak tadi kamu berada di sini?”
                Sang gadis kecil mengangguk.
                “Ini,” aku menyodorkan payung serta kantong plastik yang sejak tadi kugenggam erat ketika ia tempe goreng dalam tangannya telah menghilang. “Tolong kamu pegang sebentar.”
                Sang gadis kecil menerima payung serta kantong plastic yang kusodorkan padanya sembari terus menatapku dengan raut wajah bingung.
                “Apa yang akan kakak lakukan?” tanyanya ketika melihatku melepas jaket yang melindungi tubuhku. “Kenapa jaketnya kakak lepas?”
                Aku mengambil ayung serta kantong plastik yang masih tergenggam dalam tangan sang gadis kecil dan beralih menyodorkan jaket yang baru saja aku lepas. “Ini, pakailah. Kamu pasti kedinginan.”
                “Kakak… “
                Aku tersenyum melihat wajah sang gadis kecil. Ada perasaan bahagia yang terpancar alami dari wajah polosnya.
                “Rumahmu di mana?” tanyaku kemudian.
                “Di Panti Asuhan Kasih Bunda.”
                Mataku membulat tepat setelah ia mengatakan letak ia tinggal. Panti asuhan? Aku tak memiliki ayah, namun aku masih mempunyai ibu dan adik yang selalu hadir di sisiku. Sementara ia…
                “Kenapa kamu keluar dari panti asuhan?”
                Sang gadis kecil mendongak menatapku. “Tadi aku mendapat hukuman karena aku tidak mau bergantian memainkan boneka. Padahal boneka itu milikku dan aku menyayanginya. Tapi bunda selalu menyuruhku untuk membaginya dengan teman-teman yang lain.”
                Aku tersenyum mendengarnya. “Kakak dulu juga begitu. Kakak punya adik di rumah dan ibu selalu menyuruh kakak untuk meminjamkan mainan kakak padanya ketika adik kakak menginginkannya. Sebenarnya kakak juga tidak mau karena itu adalah mainan kesayangan kakak. Tapi ibu selalu berpesan pada kakak untuk selalu berbagi setiap kebahagiaan yang kakak punya.”
                Kulihat sang gadis diam, terpaku dengan perkataan yang baru saja kulontarkan.
                “Tapi aku tidak mau berbagi. Untuk apa aku berbagi kalau aku tidak mendapatkan apa-apa?”
                “Kata ibu, nanti kamu akan mendapatkannya di surga.”
                “Surga? Apa itu?”
                “Iya. Tempat terindah yang pernah ada. Di sana kamu bisa meminta semua yang kamu mau.”
                “Semuanya? Termasuk bertemu dengan ayah dan ibu?”
                Aku mengangguk.
                “Minta boneka juga boleh?”
                Aku mengangguk lagi.
                “Kalau begitu aku mau berbagi dengan teman-temanku agar aku bisa masuk surga,” ucapnya senang.
                Aku terus tersenyum setiap telingaku menangkap suara lucunya.
                “Yuk, kaka kantar pulang. Kakak nanti juga lewat rumah adik,” ajakku.
                “Benarkah? Terimakasih kakak,” ucapnya kemudian memelukku.
                Aku baru mengenalnya beberapa menit yang lalu, namun entah mengapa aku dan dia seperti telah lama saling mengenal. Melihatnya seperti melihat diriku dalam cermin. Sedang berada di dekatnya, seperti berada di dekat adik kandungku.
                Ada banyak pelajaran yang aku dapat hari ini. Dan aku rasa perkataan ibu beberapa tahun lalu ada benarnya.
                “Aku tidak mau membagi bonekaku pada adik. Ibu yang membelikanku boneka ini dan boneka ini milikku,” teriakku.
                “Adik hanya ingin meminjamnya sebentar,” kata ibu lembut.
                “Tidak mau. Boneka Barbieku dulu pernah rusak waktu aku meminjamkannya pada adik. Aku tidak mau kuda poni ini juga rusak gara-gara adik.”
                “Rara, berbagi itu indah. Di dunia boneka Barbiemu boleh saja rusak. Tapi nanti di surga, kamu mungkin saja akan mendapat boneka Barbie yang lebih bagus,” kata ibu membujukku.
                “Tidak. Ibu bohong. Ibu mengatakannya agar aku mau meminjamkan kuda poniku pada adik, kan?”
                “Tidak sayang. Ibu mengatakan yang sebenarnya. Kalau kamu maumembagi kebahagiaanmu, orang lain akan bahagia sepertimu. Di samping itu kamu juga akan mendapatkan kebahagiaan yang lain.”
                “Kebahagiaan apa? Waktu itu aku meminjamkan boneka Barbie pada adik, tapi boneka Barbie itu dirusak olehnya. Itu bukan kebahagiaan, bu.”
                “Tapi setelah itu kamu mendapat boneka yang lebih bagus, bukan? Di dunia, kamu akan mendapatkan balasan, sedang nanti di surga kamu juga akan mendapat balasannya. Kamu akan mendapatkan 2 kebahagiaan sekaligus.”
                “Benarkah?”
                Ibu mengangguk.
                “Kalau begitu aku mau meminjamkan kuda poniku agar aku mendapat 2 kebahagiaan.”
                Satu minggu setelahnya, ibu membuktikan ucapannya. Tetangga sebelah rumahku memberikan boneka Hello Kitty berukuran besar padaku. Kata ibu, anak tetanggaku sudah tumbuh dewasa dan ia tak membutuhkan boneka itu lagi. Selanjutnya ibu berkata bahwa pahalaku akan bertambah dan nantinya aku akan masuk surga, kemudian aku dapat meminta boneka lain yang lebih bagus, lebih besar dan lebih banyak. Ya, berbagi itu memang indah.      
               
    
With love, 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar