Aku menyandarkan tubuh pada pilar di seberang tangga. Berkali-kali aku menolehkan wajah, menengok kehadiranmu menaiki tiap anak tangga. Selalu saja seperti ini. Kala fajar telah berada tepat di atas ubun-ubun, kau turun, pergi meninggalkan kelas untuk kemudian berjalan menuju tempat suci Tuhanmu. Mushola. Di sanalah kau berada ketika kumandang adzan mulai membisiki telinga. Aku akui, aku kagum padamu. Menjalankan ibadah tepat waktu bukanlah hal yang mudah. Apalagi untuk seorang muslimah sepertimu yang berada pada era global.
Untuk kesekian kalinya aku menundukkan kepala, berharap kau muncul saat itu jua. Aku menyandarkan lenganku pada besi di sisi pilar. Kapan kau akan menampakkan diri? Teriakku dalam hati.
Walau sebelumnya aku telah melihatmu, namun mata ini tetap saja haus akan parasmu. Hati ini selalu merindukanmu. Ada perasaan resah yang menusuk jiwa ketika sedetik pun aku melewatkan momen indah disela-sela waktu istirahat. Ya, setiap bel istirahat berdenting, kakiku lekas melangkah, berjalan menuju salah satu sudut tangga. Sebuah sudut aman tempat di mana aku mampu melihatmu.
Tap tap tap...
Perlahan, terdengar derap langkah kaki menaiki anak tangga.
"Tuh, buruan dilihat. Kamu sudah nunggu dia sejak tadi, 'kan?" kata Gabriel, sahabatku, yang tiba-tiba muncul di sampingku.
Aku diam, tak menghiraukan perkataannya. Selalu saja seperti ini. Kalau saja aku membawa lakban, mungkin aku sudah menutup rapat-rapat mulutnya itu.
Aku buru-buru menggerakkan mata, mencoba mencuri pandang untuk dapat melihatmu. Wajahmu yang tertunduk, serta senyum yang selalu melekat di bibir mampu menyejukkan hatiku. Ingin rasanya aku menggantikan posisi teman-temanmu yang setia berada di sisimu, bercanda tawa, serta bertukar pendapat denganmu.
Setiap hari Minggu tiba, aku selalu berdoa, berharap suatu saat nanti aku bisa melangkah bersamamu. Namun, setiap doa itu panjatkan selalu ada bisikan yang menggelitik telingaku, "Maukah kau dengan pemuda yang berbeda agama sepertiku?"
Untuk kesekian kalinya aku menundukkan kepala, berharap kau muncul saat itu jua. Aku menyandarkan lenganku pada besi di sisi pilar. Kapan kau akan menampakkan diri? Teriakku dalam hati.
Walau sebelumnya aku telah melihatmu, namun mata ini tetap saja haus akan parasmu. Hati ini selalu merindukanmu. Ada perasaan resah yang menusuk jiwa ketika sedetik pun aku melewatkan momen indah disela-sela waktu istirahat. Ya, setiap bel istirahat berdenting, kakiku lekas melangkah, berjalan menuju salah satu sudut tangga. Sebuah sudut aman tempat di mana aku mampu melihatmu.
Tap tap tap...
Perlahan, terdengar derap langkah kaki menaiki anak tangga.
"Tuh, buruan dilihat. Kamu sudah nunggu dia sejak tadi, 'kan?" kata Gabriel, sahabatku, yang tiba-tiba muncul di sampingku.
Aku diam, tak menghiraukan perkataannya. Selalu saja seperti ini. Kalau saja aku membawa lakban, mungkin aku sudah menutup rapat-rapat mulutnya itu.
Aku buru-buru menggerakkan mata, mencoba mencuri pandang untuk dapat melihatmu. Wajahmu yang tertunduk, serta senyum yang selalu melekat di bibir mampu menyejukkan hatiku. Ingin rasanya aku menggantikan posisi teman-temanmu yang setia berada di sisimu, bercanda tawa, serta bertukar pendapat denganmu.
Setiap hari Minggu tiba, aku selalu berdoa, berharap suatu saat nanti aku bisa melangkah bersamamu. Namun, setiap doa itu panjatkan selalu ada bisikan yang menggelitik telingaku, "Maukah kau dengan pemuda yang berbeda agama sepertiku?"
With love,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar